CERMIN SEJARAH
EKSEKUSI KARTOSOEWIRJO
Oleh;
Muhammad Subarkah
N
|
ama
Kartosoewirjo, lengkapnya Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, memang melegenda
hingga kini. Meski sosoknya masih banyak yang terkubur dalam kabut misteri,
keberadaan dia tetap belum bisa hilang dari ingatan publik.
Para petinggi
intelijen, misalnya terus mengaitkan sosok anak mantri penjual candu yang lahir
di Cepu, Jawa Timur, pada 7 Februari 1905 ini, sebagai inspirasi bagi para
pelaku teror bom yang ingin mendirikan negara berdasarkan syariat Islam.
Alhasil, Kartosoewirjo yang mati dieksekusi dihadapan regu tembak Kodam Jaya
pada 12 September 1962, sosoknya malah seperti masih hidup sampai sekarang. Kematian justru malah mengabadikan cita-cita dan spirit ideologi yang dulu
pernah diperjuangkan.
****
Di
kalangan masyarakat, misteri Kartosoewirjo ini semakin meluas setelah mereka
tak kunjung bisa mengetahui secara pasti dimana dia dikuburkan. Terasa ada
kesan disamarkan disana. Selama ini, beredar anggapan bila sang imam Darul
Islam dan Tentara Islam Indonesia ( DI/TII ) ini ditembak mati dan dimakamkan
di salah satu Pulau di gugusan Pulau Seribu, yakni Pulau Onrust. Informasi ini
semakin absah karena karena di Pulau Onrust pun kini sudah dibangun sebuah
petilasan yang menyebutkan di tempat itulah Kartosoewirjo dimakamkan. Namun,
kenyataan yang sudah berlangsung puluhan tahun ini, kini terbantahkan setelah
muncul data baru berupa buku yang di sunting pegiat budaya dan politisi Partai
Gerindra, Fadli Zon. Buku itu berisi rangkaian foto-foto Kartosoewirjo ketika
dieksekusi.
”Foto-foto ini kami dapat dari seseorang kolektor sekitar
dua tahun silam. Semula ia berniat menjual foto ini kepada seorang warga
negara Jerman,” kata Fadli Zon. Selanjutnya, Fadli malah berani menyatakan buku
Hari Terakhir Kartosoewirjo,
81 Foto Eksekusi Imam DI/TII
merupakan buku pertama di dunia yang berisi kronologi eksekusi mati seorang
tokoh secara lengkap.
Bila melihat rangkaian foto itu, memang kemudian muncul
data mengejutkan. Uniknya, gambaran sosok Kartosoewirjo yang begitu ideal
justru sangat tidak tidak tampak di sana. Disitu ia muncul tak ubahnya orang
biasa saja. Wajahnya terlihat tua dan sakit-sakitan. Tak ada gambaran bahwa ia
adalah seorang tokoh besar yang mampu menggerakan ’perlawanan senjata’ hingga
ke banyak tempat, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Kepulauan Nusa Tenggara, dan Halmahera.
Sepak terjang para pengikut dan ’inspiran’ Kartosoewirjo
sempat membuat sangat repot Tentara Nasional Indonesia. Perlawanan mereka baru
benar-benar bisa dipadamkan pada awal dekade 60-an. Saat itu, Kartosoewirjo
ditangkap di sekitar wilayah Gunung
Sangkar dan Gunung Geber, Jawa Barat. Satu kompi pasukan dari BatalyonKujang
IISiliwangi membekuknya setelah didahului dengan menggelar operasi pengepungan
’pagar betis’ yang dilakukanya bersama ’masa rakyat’.
Sejarawan UI Dr Mohammad Iskandar menyatakan, tidak lama
setelah Kartosoewirjo ditangkap, proses pengadilan pun digelar sesuai dengan
instruksi Panglima Penguasa Perang Tertinggi pada 6 Agustus 1962. isi instruksi
itu adalah segera adili Kartosoewirjo sesingkat mungkin. ”Pengadilan memang
digelar pada bulan ini juga. Hampir semua saksi yang umumnya anak buah
Kartosoewirjo memberatkan perkaranya sehingga pada sidang ketiga, 16 Agustus
1962, Mahkamah Militer menjatuhkan vonis mati kepadanya, ”tulis Iskandar dalam
pengantar buku buku Hari Terakhir
Kartosoewirjo itu.
Terkait vonis itu, Kartosoewirjo pun menhajukan grasi
kepada Presiden Soekarno pada 20 Agustus 1962,. Menurut wartawan senior Ali
Shahab, surat itu dibawa ke meja kerja Soekarno oleh perwira intelejen TNI yang
dibunuh oleh Gerakan 30 September PKI, Letjen S Parman. Namun, permohonan ini
ditolak Soekarno.
”Surat permohonan grasi Kartosoewirjo dibawa ke
Presiden oleh S. Parman. Soekarno
mengatakan, letakkan saja surat itu di atas meja kerja dan nanti akan di baca
setelah shalat,”kata Alwi Shahab. Setelah meneken surat tersebut, di depan S.
Parman, Soekarno bersumpah bahwa itu adalah pengalaman pertamanya
menandatangani keputusan eksekusi mati.
Bila Soekarno merasa tak nyaman atas keputusan eksekusi
tersebut, ini memang masuk akal. Mengacu pada buku Cindy Adams, Bung Karno,Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia, Soekarno menyatakan, ”Di tahun 1918 dia (Kartosoewirjo-Red)
adalah seorang
kawanku yang baik. Kami bekerjasama bahu-membahu bersama Pak Cokro demi
kejayaan tanah air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, bermimpi
bersama-sama. Tetapi, ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia
berjuan semata-mata menurut asas Islam”.
Dalam data sejarah yang lain, peran Kartosoewirjo juga
pernah tercatat sebagai pelaku sejarah Sumpah Pemuda, Sekretaris Umum Partai
Islam Indonesia hasil Kongres 1927, terlibat dalam koran perjuangan Fadjar Asia yang dipimpin HOS
Cokroaminotodan Agus Salim, terlibat dalam pendirian Majelis Islam ’Alaa
Indonesia (MAI) yang kemudian ketika datangnya Kemerdekaan menjelma menjadi
Partai Masyumi, dan semasa zaman Jepang juga terlibat dalam pendidikan
militerlaskar gerilya kemerdekaan Hizbullah dan Sabilillah (sebagian laskar ini
nantinya kemudianmenjadi kekuatan inti TII di Jawa Barat).
Fakta lainnya, pada Agustus 1945 saat tinggal di Jakarta
dan setelah mendengar kekalahan Jepang atas Sekutu, Kartosoewirjo pun sempat
berencana memerdekakan rakyat Indonesia, terutama umat Islam.deklarasi
direncanakan pada 14 Agustus 1945. Saat itu dia meminta Kiai Josoef Taudjiri
(ulama kondang di Jawa Barat) untuk segera memproklamasikan Negara Islam
Indonesia. Namun, Kiai Josoef menolak karena ia mendapatkan informasi bahwa
draf undang-undang dasar sudah di buat dan telah disebarluaskan pada kiai dan
ulama yang ada di Jawa Barat.
Sadar akan fakta siapa Kartosoewirjo, dalam lanjutan
wawancara Cindy Adams kemudian Soekarno menyatakan,”Menandatangani hukuman
mati, misalnya bukanlah satu pekerjaan yang memberi kesenangan kepadaku.
Sungguhpun demikian seorang pemimpin harus bertindak tanpa memikirkan betapapun
pahit kenyataan yang dihadapi”.
Jatuhnya putusan ini, maka Kartosoewirjo pun harus maju
ke depan regu tembak. Nasib dia memang tak seberuntung para tokoh bangsa yang
juga merupakan ’kawan lama’ Soekarno lainnya, seperti Syahrir ataupun M Natsir,
yang kemudian juga dia singkirkan dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Nasib
dia sama persis dengan nasib
mantan perdana menteri RI, Amir Sjarifoedin, yang juga harus dihukum tembak
mati karena mengobarkan pemberontakan PKI Madiun.
”Ada tiga tuduhan yang dikenakan kepada ayah kami, yakni
melawan pemerintah, keluar dari negara Republik Indonesia, dan terlibat dalam
pembunuhan Soekarno. Ayah hanya mengakui yang pertama. Untuk tuduhan yang kedua
dan ketiga, dia menolak keras,”kata putera kedua Kartosoewirjo, Tachmid Basuki
Rahmat.
Menurut Tachmid, yang bersama ibu dan adiknya sempat
bertemu dengan ayahnya sebelum dieksekusi, ada beberapa permintaan terakhir
dari Kartosoewirjo, yakni bertemu dengan para perwiranya agar ada anggota keluarga
yang ikut hadir dalam eksekusi dan jenazah dikembalikan. Namun, semua keinginan
itu ditolak. ”Sedangkan, pesan terakhir ayah kepada kami adalah untuk menjaga
ibu dan meminta agar anak-anaknya menjadi seorang Muslim, mukmin, serta mujahid
yang baik,” ujarnya.
****
Menurut penelitian sejarawan Belanda C Van Dijk yang
menulis buku Darul Islam Sebuah
Pemberontakan (Penerbit Pustaka Utama Grafit, 1995) menyatakan, penyebab
munculnya aksi bersenjata DI/TII ini tidaklah tunggal. Salah satu pemicunya
juga adanya perbedaan cara pandang mengenai perlawanan terhadap kolonial
Belanda. Selain itu, juga sebagai imbas adanya keinginan untuk melakukan
reorganisasi tentara dan juga sebagai akibat perjanjian Renville yang membuat
wilayah Indonesia menciut hanya sebagian Jawa, yakni hanya terbentang dari
Kebumen (di sebelah barat), Semarang (di sebelah utara), dan Malang (di sebelah
timur).
Akibat perjanjian Renville ini, terjadilah krisis politik
hebat. Kabinet pun bubar, sementara kelompok yang tidak sepakat berunding
memilih jalan tetap meneruskan perang. Di Jawa Barat kemudian muncul proklamasi
NII, di Madiun muncul pemberontakan PKI yang dipimpin Muso cs. Jenderal Sudirman pun sempat tak sepakat dengan hasil perundingan ini. Dia
sempat memilih jalan berperang daripada berdebat
menurut kemerdekaan di meja perundingan. Sudirman baru mau dibujuk pulang
ke Yogyakarta oleh utusan Pemerintah RI, Letnan Kolonel Soeharto, yang
mendatanginya di markas gerilya di sebuah daerah terpencil di Pacitan, Jawa
Timur.
Van Dick secara lebih perinci mengkaji, setidaknya ada
empat faktor yang membuat DII/TII pimpinan Kartosoewirjo mendapat dukungan
luas. Pertama, adanya persoalan hubungan antara Tentara Republik dengan
satuan-satuan gerilya liar. Ini karena perang kemerdekaan Indonesia itu tidak
dilaksanakan oleh satu ”Tentara Republik Resmi” sendirian. Banyak kelompok
bersenjata lain turut serta dalam perjuangan di sampingnya, dan sejumlah besar
”kelompok gerilya liar” beroperasi berdampingan dengan Tentara Republik yang
menguasai kelompok-kelompok ini hanya di atas kertas.
Kedua, adanya perluasan penguasaan pusat kekuasaan
pemerintah. Ini menimbulkan masalah sosial karena muncul ”elit baru yang
berwajah lama” dan perasaan ketimpangan ekonomi wilayah Jawa dan luar Jawa.
Ketiga, terjadinya keresahan struktur agraria di pedesaan. Keempat, adanya
kenyataan bahwa ajaran agama dijadikan sebagai daya penggerak dan meluasnya
gerakan DI/TII. Apalagi dalam seluruh sejarah Indonesia, rakyat bersatu
mendukung panji Islam melawan kolonialis asing. ”Walaupun keempatnya saling
berbeda, serempak mereka saling memengaruhi,”.
Dikutip dari Teraju Republika
Comments
Post a Comment
Thank You
Admin.